Kala jingga mulai merambat di cakrawala, Langit menepi, menyelimuti asa yang hampir sirna. Kau selalu ada di antara redup dan terangnya dunia, Membisikkan hangat, memeluk luka tanpa suara. Kita selalu berjalan di jalan penuh duri, Namun tawa kita adalah penawar perihnya hari. Langkah kecil kita, menggenggam janji dunia, Di bawah langit senja, kita selalu bersama. Kau adalah senja dalam hidupku, Hangatmu memelukku, meski malam menjemput pilu. Kau adalah cahaya, meski redup, tetap bersinar, Dalam ruang waktu, kisah kita abadi selamanya. Di tepi laut, kita menulis cerita di pasir, Gelombang mungkin menghapusnya, tapi tak pernah mengakhiri. Tatapanmu, tawa kecilmu, menghapus gelapku, Bersama kita menantang angin, melukis langit biru. Kita pernah menangis, tersesat di badai waktu, Namun kau ajarkan aku tentang arti tetap bersatu. Luka yang terpendam, kau ubah jadi puisi, kisah ini adalah rumah di tengah sunyi. Kau adalah senja dalam hidupku, Hangatmu memelukku, meski malam menjemput pilu. Kau adalah cahaya, meski redup, tetap bersinar, Dalam ruang waktu, kisah kita abadi selamanya. Di ujung senja kita pernah berjanji, Bersama melangkah, melawan sepi. Meski jarak dan waktu datang menguji, Kau tetap di hati, abadi, tak terganti. Dan bila kelak waktu memisahkan langkah kita, Kau tetap hidup dalam puisi, dalam doa yang ku jaga. Di setiap jingga yang mewarnai cakrawala, Aku tahu, kau adalah rumah yang tak pernah sirna.